Sabtu Emangnya Buka, ya?

fb_img_1484371118404

Kantor Pajak, Hari Sabtu tetap buka untuk pelayanan Tax Amnesti. Segera manfaatkan

“Ma, weekend ini kita mau ke mana? ” tanya adik.
“Uhm, adik mau ke mana emangnya? ” tanyaku balik.

Aku tersenyum di balik kemudi mobil. Perjalanan pulang selalu saja mengasyikkan bagi kami. Bagaimana tidak? Sepanjang perjalanan, ada saja celotehan Ray dan cerita tentang teman sekolahnya.

Terkadang dia menceritakan Hery, teman sebangkunya yang kadang usil menyembunyikan penghapus maupun rautan. Dan ketika Ray menyadari, Hery akan memamerkan sederetan gusi tanpa gigi susu. Jika sudah begitu, mereka berdua akan tertawa bersamaan hingga Bu Lani akan tersenyum, lalu bertanya, “Ray, bagaimana jawaban untuk soal ini?”

Tapi yang bikin aku tergelitik dalam keseriusan, tatkala Ray bercerita tentang gedung sekolahnya yang baru dibangun. Dengan bangga dia kembali bercerita tentang peralatan laboratoriumnya yang super bagus.
“Ma, Mama tau floem sama xilem ngga?”
“Tau dong, yang ada di batang pohon itu kan, Dek? ”
“Iya, kami hari ini ada kelas Biologi, lalu percobaan di laboratorium pakai mikroskop. Asyik banget, Ma. Minggu depan kami praktik lagi…. ”

Dialog asyik itu kembali mengudara dia atas aspal yang masih saja panas meski Raja Siang telah tumbang. Angin mencericit. Pagar tergesek senyap.

“Aku pulang…. ” teriaknya ceria.
“Dek, besok mau ke toko buku ngga? Kita cari buki tentang mikroorganisme. Tapi sebelumnya, temani Mama ke kantornya Tante Sasa dulu ya.”
“Oke, Ma. Rebes.”

Malam makin menukik. Deretan celoteh Ray makin berkurang. Mata sayunya tak bisa berbohong, seharian beraktivitas, membuatnya tumbang. Dari balik selimut bergambar Superman, dia terlelap setelah sebuah fabel aku bacakan.

Kembali sebuah pagi yang sibuk. Rentetan klakson pinggir kota memenuhi telinga.

“Ray tau ngga, kita mau ke mana?”
“Enggak.”
“Kita mau ke kantor pajak. Dari sinilah, pendapatan negara diadministrasikan. Pembangunan gedung sekolah dan peralatan laboratorium Ray itu, juga dari sini lho.”
“Iyakah, Ma?”
“Wah… kalau begitu, Ray harus mengucapkan terima kasih kepada pegawai pajak ya, Ma. Karena berkat mereka, gedung sekolah Ray bisa baguuuuuuusss banget. Ray juga bisa ngeliat xilem dan floem pakai mikroskop.”
“Iya, Nak. Nanti Mama kenalin sama Tante Sasa ya. ”
“Iya, Ma. Eh, sekarang bukannya Sabtu ya, Ma? Kantor Pajak buka kah? ”
“Kata Tante Sasa, Sabtu tetap buka, untuk pelayanan Tax Amnesti. Dari pukul 8 pagi sampe 2 siang.”
“Ooo…. ”

Kemudi masih berputar mengikuti alur alir jalan yang terkadang menjengkelkan. Udara memanas. Dedaunan tergesek angin yang bersuhu gerah.

“Hay, Sa…. ”
“Ve, apa kabar? Makasih udah mau mampir. Ada yang bisa aku bantu? ”
“Ini, aku mau nganter anakku, Ray, kenalin. ”
“Halo Tante Sasa, saya Rey. Makasih ya, berkat Tante gedung sekolah saya sekarang jadi bagus. ”
“Sama-sama, Ray yang baik. Memangnya Ray sekolah di mana? ”
“Di SMPN 2, Tante. ”

“SMP Negeri ya? Kalau sekolah negeri memang dapat subsidi pembangunan dari pemerintah, Sayang. Nah, bentuknya bisa pembangunan gedung, peralatan sekolah, bahkan buku pelajaran. Memang selalu ada anggaran 20% dari APBN untuk dana pendidikan.”

“Jadi selama ini, dana pajak itu ada yang dipakai buat pendidikan juga ya, Tante. Ray baru tahu.”

“Iya, Ray. Jadi, Pajak kan dijumlahkan dengan Pendapatan Negara Bukan Pajak atau PNBP, lalu ditambah lagi dengan Dana Hibah dan lain-lain. Nah, dana yang dikumpulkan ini semua akan dipecah-pecah menjadi beberapa bagian. Salah satunya buat pendidikan.”

“Wuih, keren. Kalau sudah besar, saya mau jadi kayak Tante Sasa. Bekerja buat pembangunan negara, pasti asyik. ”
“Hehehe, apapun kerjanya, asal kita cinta sama Indonesia, pasti asyik, Ray. Apalagi kalau kita punya integritas. Belajar yang rajin ya. Oya, Ve. Tadi kamu mau apa? ”
“Mau nanyain NPWP aku nih, aku kan mau lapor e-filing tapi belum ada efin, bisa minta tolong ngga? ”
“Yah, Ve. Maaf banget ya. Kami buka cuma buat pelayanan Tax Amnesti aja. Kalau mau konsultasi bisa sama aku.”
“Yah…. gitu ya. Hehehe, maaf deh, Sa. Aku baca pengumumannya kurang teliti.”
“Mama…. ”

🏢 KPP Pratama Pontianak 😻

 

Senyum Demokrasi

“WHAT?!!! Ini beneran?” teriak Zia saat membaca artikel tentang penghasilan anggota legislatif yang mencapai nominal 50juta. Skonyong gambar dan rincian gaji-gaji yang dianggapnya fiktif itu disodorkannya di depan mataku.

Gaji Anggota Dewan

“Zi, biasa aja dong”, jawabku datar.

“Biasa aja gimana maksudmu? Ini uang negara Cuma buat ngelap ingus mereka doang pas rapat, kamu bisa bilang biasa aja?!” Zia masih setengah teriak.

“Itu sudah jadi rahasia umum keleus….” Mataku masih lekat membaca cerpen anak di rubrik sebelah. Memang kalau tiap hari Minggu seperti ini, membaca koran menjadi agnda rutin bagi kami, sahabat kecil yang nge-geje. Dibilang tidak bisa move on, silahkan. Seperti saudara dempet, monggo. Yang pasti, kami memang tak terpisahkan.

“Ini nih, yang bikin aku makin gamau memanfaatkan hak pilih tanggal 9 April nanti. Mau dibawa ke mana rakyat Indonesia kalau yang dikasih amanat saja seperti ini. Bisa makin miskin moral negara!” ucapnya sambil mencomot kue kering.

Zia memang agak enggan menggunakan hak pilihnya pada pesta demokrasi kali ini. Menurutnya, tak ada calon yang dianggap berkompeten. Semua orang hanya memanfaatkan aji mumpung; mumpung punya duit, mumpung punya nama, mumpung punya antek-antek yang mau mengusung namanya sekaligus menggembar-gemborkan profilnya pada semua orang, de el el. “Emang siapa dia?” selorohnya lagi.

Aku hanya bisa tersenyum sumbang. Kinerja oarang-orang di pemerintahan yang tak bisa dibanggakan itu sudah menjadi rahasia umum, mengedepankan ego dan kepentingan partai politik yang mengusungnya adalah kewajiban yang tak terbantahkan. Bahkan adanya isu-isu yang menyatakan jika para pembesar bertarung mati-matian agar nominal yang mereka gunakan saat pemilihan bisa kembali sudah terdengar biasa di telinga.

“Kau tahu, Zi? Negeri ini sakit, kronis. Ibarat tumor kalau tidak segera diobati atau bahkan diamputasi, bisa menjalar dan merusak organ yang sehat. Jadi Zi, tugas kita sekarang itu bisa dibilang berat lho.”

“Tugas? Emangnya apa, Lan?” tanyanya. Posisi duduknya diubah. Mengahadapku. Matanya pun lekat.

“Manfaatkan hak pilih kita besok, tanggal 9 April. Biar orang-orang yang duduk di kursi legislatif itu bisa diregenerasi. Biar diisi sama orang-orang yang lebih kompeten di bidangnya.”

“Tapi, Lan. Aku sudah terlanjur illfeel sama mereka-mereka itu”, suara Zia terdengar gemas. Mungkin jika calon-calon legislatif itu tengah duduk bersama di sini, mereka akan digerus sama dia.

“Aku tahu kok yang kamu takutkan. Background mereka kan? Juga sepak terjang mereka selama ini?” anyaku menelisik.

“Kok tahu?”

“Tahu lah, apa sih yang ga kutahu tentangmu, Zi. Kamu ngelindur tadi malam juga aku tahu. Hahaha….” lalu kami tertawa bersama. “Jangan khawatir, aku punya solusinya kok. Tuh, di pojok bawah kan ada websitenya Bawaslu, klik aja. Jadi kau akan tahu bagaimana sosok para caleg itu.”

“Uhm…. tapi kalau ternyata ga ada caleg yang bagus gimana dong, Lan? Aku kan gamau menggiring negeri ini ke jurang yang lebih dalam. Aku ga mau seperti anggota BPUPKI dan PPKI itu yang Cuma mengantar Bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Kenapa mereka ga mengantar kita sampai masuk? Kenapa Cuma di depan gerbang doang?”

“Ya setidaknya kalau tak ada yang paling bagus, ya pilihlah yang paling baik di antara yang buruk, Zi. Aku dulu juga niatnya mau golput lho. Tapi setelah sharing sama temen-temen di kampus, ternyata golput itu hanya akan semakin menambah daftar panjang kebobrokan negeri ini. Bayangkan surat suara kita yang masih tak ternoda itu dimanfaatkan sama pihak-pihak yang tak bertanggung jawab? Iyuuuuh kan?”

“Lan, mari kita rayakan pesta demokrasi. Aku memang ga mau uang negara diberikan pada anggota dewan yang ga tahu malu itu. Tapi aku lebih ga mau mereka yang duduk itu Cuma bisa tidur dan debat kusir. Ya paling ga, akan ada sebuah mufakat yang bisa mengantar Indonesia masuk ke lokasi kemerdekaan yang sesungguhnya.”

“Jadi pemilih yang cerdas dan bijak ya….”

Setelah itu, kulihat senyum Zia mengembang apik di sudut bibirnya. Kami berpelukan.